A. Batasan
dan Kajian Fonologi
Istilah
fonologi berasal dari bahasa Yunani
yaitu phone = ‘bunyi’, logos = ‘ilmu’. Secara harfiah,
fonologi adalah ilmu bunyi.
Fonologi
merupakan bagian dari ilmu bahasa yang mengkaji bunyi. Objek kajian
fonologi
yang pertama bunyi bahasa (fon) yang disebut tata bunyi (fonetik) dan
yang
kedua mengkaji fonem yang disebut tata fomen (fonemik).
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa fonologi adalah cabang ilmu bahasa
(linguistik) yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya dan
perubahannya. Fonologi mengkaji bunyi bahasa secara umum dan fungsional.
B.
Beberapa
Pengetian Mengenai Tata Bunyi
1.
Fonem
Istilah fonem
dapat didefinisikan sebagai
satuan bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya satuan fonem
memiliki
fungsi untuk membedakan makna.
Fonem dalam
bahasa mempunyai beberapa macam lafal yang bergantung pada tempatnya
dalam kata
atau suku kata. Contoh fonem /t/ jika berada di awal kata atau suku
kata,
dilafalkan secara lepas. Pada kata /topi/, fonem /t/ dilafalkan lepas.
Namun
jika berada di akhir kata, fonem /t/ tidak diucapkan lepas. Bibir kita
masih
tetap rapat tertutup saat mengucapkan bunyi, misal pada kata /buat/.
2. Alofon
Varian
fonem berdasarkan posisi dalam kata, misal fonem pertama pada kata makan
dan
makna secara fonetis berbeda. Variasi suatu fonem
yang
tidak membedakan arti dinamakan alofon. Alofon dituliskan diantara dua
kurung
siku […]. Kalau[p] yang lepas kita tandai dengan [p] saja, sedangkan [p]
yang
tak lepas kita tandai dengan [p>]. Maka kita dapat berkata bahwa
dalam
Bahasa Indonesia fonem /p/ mempunyai dua alofon, yakni [p] dan [p>].
C.
Kajian
Fonetik
1.
Klasifikasi
Bunyi
a)
Berdasarkan
ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara.
1) Vokal adalah bunyi
bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan. Pada pembentukan
vokal
tidak ada artikulasi.
2)
Konsonan adalah bunyi
bahasa yang dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat
ucap.
Dalam hal ini terjadi artikulasi.
3)
Bunyi semi-vokal adalah
bunyi yang secara praktis termasuk konsonan, tetapi karena pada waktu
diartikulasikan belum membentuk konsonan murni.
b)
Berdasarkan
jalan keluarnya arus udara.
1)
Bunyi
nasal, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menutup arus udara ke luar
melalui rongga mulut dan membuka jalan
agar arus udara dapat keluar melalui rongga hidung.
2)
Bunyi
oral, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan jalan mengangkat ujung anak
tekak
mendekati langit-langit lunak untuk menutupi rongga hidung, sehingga
arus udara
keluar melalui mulut.
c) Berdasarkan
ada tidaknya ketegangan arus udara
saat bunyi di artikulasikan.
1)
Bunyi keras (fortis), yaitu bunyi bahasa yang pada
waktu
di artikulasikan disertai ketegangan kuatarus.
2)
Bunyi lunak (lenis), yaitu bunyi yang pada waktu di
artikulasikan
tidak disertai ketegangan kuatarus.
d)
Berdasarkan
lamanya bunyi pada waktu diucapkan atau diartikulasikan
1)
Bunyi panjang
2)
Bunyi pendek
e)
Berdasarkan
derajat kenyaringannya
Bunyi dibedakan menjadi
bunyi nyaring
dan bunyi tak nyaring. Derajat kenyaringan ditentukan oleh luas atau
besarnya
ruang resonansi pada waktu bunyi diucapkan. Makin luas ruang resonansi
saluran
bicara waktu membentuk bunti, makin tinggi derajat kenyaringannya.
Begitu pula
sebaliknya.
f)
Berdasarkan
perwujudannya dalam suku kata
1)
Bunyi
tunggal, yaitu bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku kata (semua
bunyi
vokal atau monoftong dan konsonan).
2)
Bunyi rangkap, yaitu dua bunyi atau lebih yang
terdapat
dalam satu suku kata. Bunyi rangkap terdiri dari
3)
Diftong (vocal rangkap) : [ai], [au] dan [oi].
4)
Klaster (gugus konsonan) : [pr], [kr], [tr] dan
[bl].
g)
Berdasarkan
arus udara
1)
Bunyi
egresif, yaitu bunyi
yang di bentuk dengan cara mengeluarkan arus udara dari dalam paru-paru. Bunyi egresif di bedakan menjadi :
(a) Bunyi
egresif pulmonik : di bentuk dengan mengecilkan ruang paru-paru,otot
perut dan rongga dada.
(b)
Bunyi egresif glotalik : terbentuk dengan cara
merapatkan
pita suara sehingga glottis dalam keadaan tertutup.
2)
Bunyi ingresif, yaitu bunyi yang di bentuk dengan
cara menghisap
udara ke dalam paru-paru.
(a)
Ingresif glotalik : pembentukannya sama dengan
egresif glotalik
tetapi berbeda pada arus udara.
(b)
Ingresif velarik : di bentuk dengan menaikkan
pangkal lidah
di tempatkan pada langit-langit lunak.
Kebanyakan
bunyi bahasa Indonesia merupakan bunyi egresif.
2.
Pembentukan
Vokal, Konsonan, Diftong, dan Kluster
a)
Pembentukan
Vokal
Vokal dibedakan
berdasarkan tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, bentuk
bibir,
dan strikturnya. Berikut ini jenis-jenis vokal berdasarkan cara
pembentukannya,
yakni:
1)
Berdasarkan bentuk
bibir : vokal bulat, vokal netral, dan vokal tak bulat;
2)
Berdasarkan tinggi
rendahnya lidah : vokal tinggi, vokal madya (sedang), dan vokal rendah;
3)
Berdasarkan bagian
lidah yang bergerak : vokal depan, vokal tengah, dan vokal belakang;
4) Berdasarkan
strikturnya : vokal tertutup, vokal semi-tertutup, vokal semi-terbuka,
dan
vokal terbuka.
b)
Pembentukan
Konsonan
Pembentukan
konsonan didasarkan pada empat faktor, yakni daerah srtikulasi, cara
artikulasi, keadaan pita suara, dan jalan keluarnya udara. Berikut ini
klasifikasi konsonan tersebut:
1)
Berdasarkan
daerah artikulasi : konsonan bilabial, labio dental, apikodental,
apikoalveolar, palatal, velar, glotal, dan laringal;
2)
Berdasarkan
cara artikulasi : konsonan hambat, frikatif, getar, lateral, nasal, dan
semi-vokal;
3)
Berdasarkan
keadaan pita suara : konsonan bersuara dan konsonan tak bersuara;
4)
Berdasarkan
jalan keluarnya udara : konsonan oral dan konsonan nasal.
c)
Pembentukan
Diftong
Diftong
adalah dua buah vokal yang berdiri bersama dan pada saat diucapkan
berubah
kualitasnya. Perbedaan vokal dengan diftong adalah terletak pada cara
hembusan
nafasnya.
Diftong dalam bahasa
indonesia adalah
sebagai berikut:
1)
Diftong /au/, pengucapannya [aw]. Contohnya :
[harimaw] /harimau/
[kerbaw] /kerbau/
2)
Diftong /ai/, pengucapannya [ay]. Contohnya :
[santay] /santai/
[sungay] /sungai/
3)
Diftong /oi/, pengucapannya [oy]. Contohnya :
[amboy] /amboi/
[asoy] /asoi/
d)
Pembentukan
Kluster
Gugus
atau kluster adalah deretan konsonan yang terdapat bersama pada satu
suku kata.
1)
Gugus konsonan pertama : /p/,/b/,/t/,/k/,/g/,/s/
dan
/d/.
2)
Gugus konsonan kedua : /l/,/r/ dan /w/.
3)
Gugus konsonan ketiga : /s/,/m/,/n/ dan /k/.
4)
Gugus konsonan keduanya adalah konsonan lateral
/l/,
misalnya :
(a)
/pl/ [pleno] /pleno/
(b)
/bl/ [blaƞko]
/blangko/
(c)
Dan begitu seterusnya hingga konsonan kedua /r/ dan
/w/.
5)
Jika tiga konsonan berderet, maka konsonan pertama
selalu
/s/, yang kedua /t/,/p/ dan /k/ dan yang ketiga adalah /r/ atau /l/.
Contohnya
:
(a) /spr/
[sprey] /sprei
(b) /skr/
[skripsi] /skripsi/
(c) /skl/
[sklerosis] /sklerosis
D.
Kajian
Fonemik
Istilah fonem dapat
didefinisikan
sebagai satuan bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya satuan
fonem
memiliki fungsi untuk membedakan makna. Fonem juga dapat dibatasi
sebagai unit
bunyi yang bersifat distingtif atau unit
bunyi yang signifikan.
Dalam hal ini perlu
adanya fonemisasi
yang ditujukan untuk menemukan bunyi-bunyi yang berfungsi dalam rangka
pembedaan makna tersebut. Dengan demikian fonemisasi itu bertujuan untuk
1. menentukan struktur fonemis sebuah bahasa, dan
2. membuat ortografi yang praktis atau ejaan sebuah bahasa.
1. menentukan struktur fonemis sebuah bahasa, dan
2. membuat ortografi yang praktis atau ejaan sebuah bahasa.
Untuk mengenal dan
menentukan
bunyi-bunyi bahasa yang bersifat fungsional atau fonem, biasanya
dilakukan
melalui “ kontras pasangan minimal”.
Dalam hal ini pasangan minimal ialah pasangan bentuk-bentuk bahasa yang terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa (biasanya berupa kata tunggal) yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi berbeda. Sekurang-kurangnya ada empat premis untuk mengenali sebuah fonem, yakni
1. bunyi bahasa dipengaruhi lingkungannya,
2. bunyi bahasa itu simetris,
3. bunyi bahasa yang secara fonetis mirip, harus digolongkan ke dalam kelas fonem yang berbeda, dan
4. bunyi bahasa yang bersifat komplementer harus dimasukkan ke dalam kelas fonem yang sama.
Dalam hal ini pasangan minimal ialah pasangan bentuk-bentuk bahasa yang terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa (biasanya berupa kata tunggal) yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi berbeda. Sekurang-kurangnya ada empat premis untuk mengenali sebuah fonem, yakni
1. bunyi bahasa dipengaruhi lingkungannya,
2. bunyi bahasa itu simetris,
3. bunyi bahasa yang secara fonetis mirip, harus digolongkan ke dalam kelas fonem yang berbeda, dan
4. bunyi bahasa yang bersifat komplementer harus dimasukkan ke dalam kelas fonem yang sama.
1. Realisasi Fonem
Realisasi fonem adalah
pengungkapan yang
sebenarnya dari ciri atau satuan fonologis, yakni fonem menjadi bunyi
bahasa. Realisasi fonem
erat kaitannya dengan variasi fonem. Variasi fonem merupakan salah satu
wujud
pengungkapan dari realisasi fonem. Secara segmental fonem bahasa
Indonesia
dibedakan atas vokal dan konsonan.
2.
Variasi
Fonem
Variasi fonem
adalah wujud pelbagai manifestasi bersyarat maupun tak bersyarat dari
fonem. Wujud variasi suatu fonem
yang ditentukan oleh
lingkungannya dalam distribusi yang komplementer disebut varian alofonis
atau
alofon.
E.
Gejala
Fonologi Bahasa Indonesia
1.
Penambahan
Fonem
Penambahan fonem pada
suatu kata pada
umumnya berupa penambahan bunyi vokal. Penambahan ini dilakukan untuk
kelancaran ucapan.
2.
Penghilangan
Fonem
Penghilangan
fonem adalah hilangnya bunyi atau fonem pada awal, tengah dan akhir
sebuah kata
tanpa mengubah makna. Penghilangan ini biasanya berupa pemendekan kata.
3.
Perubahan
Fonem
Perubahan
fonem adalah berubahnya bunyi atau
fonem pada sebuah kataagar
kata menjadi terdengar dengan jelas atau untuk tujuan tertentu.
4.
Kontraksi
Kontraksi adalah
gejala yang memperlihatkan adanya satu atau lebih fonem yang
dihilangkan.
Kadang-kadang ada perubahan atau penggantian fonem.
5.
Analogi
Analogi adalah
pembentukan
suatu kata baru berdasarkan suatu contoh yang sudah ada (Keraf,
1987:133).
6.
Fonem
Suprasegmental
Fonem vokal dan
konsonan merupakan fonem segmental karena dapat diruas-ruas. Fonem
tersebut
biasanya terwujud bersama-sama dengan ciri suprasegmentalseperti
tekanan,
jangka dan nada. Disamping ketiga ciri itu, pada untaian terdengar pula
ciri
suprasegmental lain, yakni intonasi dan ritme.
a)
Jangka, yaitu panjang pendeknya bunyi yang di
ucapkan.
Tanda […]
b)
Tekanan, yaitu penonjolan suku kata dengan
memperpanjang
pengucapan, meninggikan nada dan memperbesar intensitas tenaga dalam
pengucapan
suku kata tersebut.
c)
Jeda atau sendi, yaitu cirri berhentinya pengucapan
bunyi.
d)
Intonasi, adalah
cirri suprasegmental yang berhubungan dengan naik turunnya nada dalam
pelafalan
kalimat.
e)
Ritme, adalah
ciri suprasegmental yang berhubungan dengan pola pemberian
tekanan pada kata dalam kalimat.
Pada tataran
kata, tekanan, jangka, dan nada dalam bahasa Indonesia tidak membedakan
makna.
Namun, pelafalan kata yang menyimpang dalam hal tekanan, dan nada kan
terasa
janggal.